Ulasan Buku "Seribu Wajah Ayah" #bookreview
Sunday, March 20, 2016
Ini adalah ulasan novel “seribu wajah ayah”. Selamat membaca
Judul buku : seribu wajah ayah
Peresensi: Mei Sintiya
Peresensi: Mei Sintiya
Penulis: Azhar Nurun Ala
Penerbit: azharologia
Cetakan II: Desember, 2015
Tebal: 148 halaman
orientasi
Seribu wajah ayah adalah novel
karya azhar nurun ala yang menceritakan tentang perjuangan seorang ayah yang
tinggal di desa bernama bandar harapan-lampung, dan mempunyai satu orang anak
laki-laki, Si istri meninggal ketika melahirkan si anak. Si ayah berprofesi
sebagai guru disalah satu sekolah SD di kampung itu, ayah membesarkan seorang
anak sendiri sedari anak masih bayi hingga menjadi sarjana. Bahan untuk
menceritakan novel ini melalui beberapa foto, ada 10 foto yang di cairkan untuk
menjadi sebuah cerita di dalam novel ini.
tafsiran (isi buku/sinopsis)
Pada awal kisah
novel ini, diceritakan melalui foto pertama di album biru, seorang ayah yang
amat sangat bahagia setelah mendengar kabar bahwa sang istri telah melahirkan
seorang anak yang telah dinantikan selama lima tahun. Di foto kedua bercerita
tentang dua orang bibi yang dengan senang hati membantu ayah mengasuh anaknya,
Lik Marni dan Lik Wati namanya, bila si ayah sedang mengajar di sekolah. Foto
ketiga, dunia yang fana dihalaman ini dituliskan sebuah puisi dari Sapardi
Djoko Damono yang berjudul ‘Tangan Waktu’ (1959), lagu berjudul ‘Belanja Terus
Sampai Mati’—Efek rumah kaca mengajak kita untuk berefleksi sekaligus
menertawakan orang-orang yang terjebak oleh perilaku konsumtif yang berlebihan.
Ada juga bait-bait puisi Robert Frost, ditulis juga prinsip yang terus dipegang
si ayah sampai si anak besar. Foto keempat, ayah dan teman sesama guru yang
berselisih pendapat ketika mereka sedang membahas cita-cita anaknya
masing-masing. “aku kepingin jadi guru,” katamu waktu itu. “kenapa?” “biar
kayak ayah” sang ayah hanya tersenyum (anak sekolah TK). Dan seorang guru
bernama Kholidah guru yang paling dekat dengan si anak, sering mengantar anak
kesekolah ayah, bila jam sekolah sudah habis. Ayah, lama-lama tak nyaman dengan
perhatian yang lebih dari Bu Kholidah, mulai menjaga jarak. Puncaknya anak
sakit tiga hari berbaring ditempat tidur. Sampai akhirnya Bu Kholidah menjenguk
dan menawarkan diri utuk merawat anak, ayah dengan tegas menolak. Bu Kholidah
paham betul maksud perkataan ayah dan bu Kholidah berhenti menaru harapan pada
ayah. Foto kelima Hal apa yang paling amupuh mencabut kebahagiaan dalam hidup
manusia? Barangkali kesendirian. Anak sudah SD yang sedih ketika mendapat tugas
membuat puisi tentang ibu dan wajib dibacakan didepan berdampingan dengan ibu
dalam rangka memperingati hari ini, anak terpukul dan sedih. 22 Desember 2003
tanggal diambilnya foto kelima harusanya bukan ayah yang berdiri disana, tapi
ayah bahkan sudah lebih dari seorang ibu. Foto keenam. anak yang sudah lulus SMP,
pukul 23:00 mengedapa-ngendap lewat jendela kamar. kekecewaan ayah atas
ketakuatan beberapa bulan sebelum anak lahir takut tidak bisa menjaga dan
mendidik titipan Allah. Tapi si ayah hanya mengingatkan sebagai tugas sang
muslim untuk saling mengingatkan. Anak sudah dewasa untuk berpikir dan
bertindak sendiri, mengambil pilihan-pilihan sendiri, bisa menetukan mana yang
baik dan mana yang enggak pantas untuk dilakukan. ‘Itu perinsip si ayah sejak
dulu’. Foto ketujuh, kau tampak gagah disana, dengan seragam putih-putih,
sarung tangan yang juga putih, ditambah peci hitam yang terpasang di sana
lencang berbentuk garuda pancasila. Di momen itu yang diabadikan dalam foto
ketujuh dalam album biru itu. Semenjak anak sudah SMA anak dan ayah mulai
jarang saling bicara dengan kesibukan masing-masing terutama kesibukan anak. dan
anak yang akan memutuskan kuliah di fakultas Ekonomi, lagi-lagi ayah tak menghalaingi
keputusan anaknya. Foto kedelapan anak dan ayah mengenakan baju koko foto itu
diambil sepulang shalat Ied pada tahun pertama kuliah. Liburan pertama cukup
lama sehingga—atas nama kerinduan pada ayah—anak pulang ke kampung. Ayah senang
bukan main. Foto kesembilan didalam foto itu terlihat ayahmu mengenakan kemeja
batik dan anak memakai toga, anak sedang wisuda waktu itu. Hari itu si anak
berencana mengenalkan perempuan yang menurutnya cocok untuk dijadikan
pendamping hidup—kepada ayah, sekaligus menyampaikan kabar penting bahwa anak
mendapat beasiswa kuliah S2 di luar negri satu kampus dengan perempuan itu--Zahra
namanya. Ayah tidak mengizinkan, ayah hanya ingin anaknya menemaninya
diakhir-akhir usia nya karena si ayah sudah sakit-sakitan tanpa pengetahuan si
anak. Tetapi anak tetap kekeh dengan keputusannya untuk melanjutkan kuliah di
luar negri meskipun tanpa restu ayah. Foto kesepuluh, rupanya hanya ada ayah
dengan ditempel cermin yang seukuran dengan foto itu, kini foto itu tidak
sendiri ada wajah anak. Dibawah foto itu tertulis pesan:
Maafkan ayahmu
yang tak bisa sempurna dan selalu ada, maafkan mataharimu ini bila seringkali
sinarnya redup, mungkin dimatamu ayah tak lagi pantas disebut matahari, meski
begitu ayah mohon jangan pernah membenci ayah.
evaluasi
Novel ini membuat
pembaca dapat mengentropesi diri tentang kewajiban anak memuliakan seorang
ayah, dan pembaca bisa lebih tahu teguhnya perasaan seorang ayah ketika anaknya
tidak berpihak kepadanya. Novel ini juga dikemas dengan bahasa yang mudah
dimengerti sehingga pembaca tidak sulit untuk menafsirkannya. Novel ini ayah
seolah-olah berubah menjadi perempuan—ibu. Setiap mozaik novel ini juga
menjejali kepada pembaca dengan butir-butir inspirasi. Novel ini mengajak para
pembaca yang berkenan untuk menepi dan merenungkan, mengasingkan diri dari
hiruk pikuk kehidupan. Novel ini menyampaikan tanpa mengurangi, mengajak tanpa
memaksa, menyadarkan tanpa menyindir. Pembaya yang mempunyai hati nurani pasti
akan terhipnotis dari awal membaca novel ini.
kesimpulan
Novel ini cocok
dibaca semua kalangan bahwa ayah juga tulus menyayangi kita tanpa pamrih,
syarat, dan menerima kita kapanpun, berkorban tanpa meminta imbalan. Sudahkah kita
beri perhatian penuh kepada ayah setiap hari nya? Yang jauh dengan ayah apakah
setiap hari kau menanyakan kabar ayah? Dan ketika ayah telah tiada hanya doa
anak yang soleh dan solehahlah yang akan selalu menyertai. Jadi jangan sekali
kali kamu melupakan ayahmu kerena ayah juga pasti butuh perhatian dari anaknya.
Menurut saya sendiri novel ini sanagt memotivasi.
Cukup sekian ulasan “seribu wajah ayah” karya Azhar Nurun
Ala dari Saya. mohon maaf bila ada kesalahan dan kekurangan. Buku ini bisa
dipesan di http://azharologiabook.com/ atau email azharologiabook@gmail.com
0 komentar